Selasa, 23 September 2008

SEJARAH Yogyakarta

Bila kita berbicara tentang Kraton Yogyakarta, maka kita tak bisa jauh-jauh dari Kraton Surakarta (Solo), atau lebih jauh lagi, dari Kerajaan Mataram yang sempat menguasai Jawa sekitar tahun 1613 dibawah pimpinan Sultan Agung (Raden Mas Rangsang). Pada saat ini Kraton Yogyakarta dan Kraton Surakarta dianggap sebagai ahli waris dari Kerajaan Mataram. Bahkan di saat Kerajaan-Kerajaan lainnya di Indonesia sudah tidak memerintah lagi wilayah yang dulu menjadi teritorial kerajaannya, Kerajaan Yogyakarta masih memiliki kendali (meskipun bertanggung jawab kepada Presiden RI) atas teritorialnya. Hal ini dapat dilihat dari Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta yang saat ini dipegang oleh Sultan Hamengku Buwono (HB) X dan Pangeran Paku Alam (PA) IX. Tidak hanya itu, rakyat Yogyakarta pun dengan tegas menolak pemilihan Kepala Daerah dan mendukung penetapan Sultan HB X dan Pangeran PA IX menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta.


Seperti yang telah diketahui, Perjanjian Giyanti (17 Maret 1755) merupakan awal dari sejarah Yogyakarta. Perjanjian ini diadakan di desa Giyanti, tenggara kota Karanganyar, Jawa Tengah. Perjanjian ini merupakan kesepakatan antara VOC, pihak Mataram, dan pihak Pangeran Mangkubumi (pemberontak, yang kelak menjadi Sultan Hamengku Buwono I) yang isinya membagi dua kerajaan Mataram menjadi milik Kerajaan Surakarta dan milik Pangeran Mangkubumi (bernama asli Raden Mas Sujana anak dari Amangkurat IV raja dari Kasunanan Kartasura) yang nantinya menjadi Yogyakarta. Perjanjian Giyanti tersebut juga memberi gelar “Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah” ke Pangeran Mangkubumi.

Kerajaan Mataram merupakan Kerajaan Islam yang dibangun oleh Sutawijaya yang kemudian bergelar “Panembahan Senopati” atas daerah yang telah diberikan oleh Jaka Tingkir alias Sultan Hadiwijaya (Raja Kerajaan Pajang) kepadanya. Kemudian Kerajaan Mataram menjadi besar di bawah pimpinan Sultan Agung, putra dari Prabu Hanyokrowati (Raja Kedua Mataram). Semasa pemerintahan Sultan Agung, Kerajaan Mataram berhasil menyatukan Pulau Jawa, bahkan sampai Pulau Madura.

Sepeninggal Sultan Agung (Raden Mas Rangsang), Kerajaan Mataram mengalami kemunduran. Salah satunya adalah saat Kerajaan Mataram masa Amangkurat I diserang oleh Trunojoyo, salah satu bangsawan Madura dengan bantuan kelompok dari Makassar yang tidak puas dengan VOC. Selain itu, gelar Kesultanan berubah menjadi “Sri Sunan” (berasal dari kata “Susuhunan” atau “Yang Dipertuan”) mulai Amangkurat I (Raden Mas Sayidin). Amangkurat dalam bahasa Jawa juga bisa berarti Amangku “memangku” rat “bumi”.

Pemberontakan Trunojoyo berhasil dipadamkan oleh Sri Susuhunan Amangkurat II (Raden Mas Rahmat). Setelah pemberontakan Trunojoyo, Amangkurat II memindahkan Kerajaan Mataram dari Plered ke Kartasura, yang kelak menjadi Kasunanan Kartasura. Kemudian Amangkurat II wafat dan digantikan posisinya oleh Amangkurat III. Tetapi menurut Babad Tanah Jawi, Wahyu Keprabon sebenarnya jatuh ke Pangeran Puger (Pakubuwono I). Dukungan mulai datang kepada Pangeran Puger. Hal ini membuat persaingan di antara keduanya memanas dan akhirnya menjadi peperangan di antara keduanya. Perang Saudara ini disebut juga Perang Suksesi I yang dimenangkan oleh Pangeran Puger. Kemudian Pangeran Puger yang bergelar "Susuhunan Paku Buwana Senapati Ingalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatulah Tanah Jawa" ini menduduki Keraton Kartasura yang digantikan oleh putranya Amangkurat IV(Raden Mas Suryaputra).

Semasa pemerintahan Amangkurat IV, terjadi perang saudara lagi, yang disebut Perang Suksesi II. Perang ini terjadi antara Amangkurat IV dengan saudara-saudaranya, Pangeran Arya Dipanegara pamannya, Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya adik-adiknya, dan Pangeran Arya Mataram pamannya. Perang ini akhirnya dapat dimenangkan oleh Amangkurat IV dengan bantuan VOC. Amangkurat IV merupakan leluhur orang-orang yang berpengaruh besar di Jawa di kemudian hari karena Amangkurat IV melahirkan Pakubuwana II pendiri Keraton Surakarta, Hamengku Buwono I raja pertama Yogyakarta, dan Arya Mangkunegara ayah dari Mangkunegara I.

Pengganti Amangkurat IV adalah putranya yaitu Raden Mas Prabusuyasa (Pakubuwana II). Karena kalah dari Cakraningrat IV (ipar Pakubuwana II) dan Istana Kartasura hancur maka Pakubuwana II kembali membangun Istana baru di desa Sala yang bernama Surakarta.

Setelah Pakubuwana II wafat maka ia digantikan oleh Pakubuwana III yang merupakan raja mataram pertama yang dilantik oleh Belanda (VOC). Semasa pemerintahan Pakubuwana III ini terjadi perang saudara yang sudah dimulai sejak jaman pemerintahan Pakubuwana II antara Raden Mas Said (Mangkunegara I) putra dari Arya Mangkunegara dan Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwana I) dengan Pakubuwana II.

Karena pihak Sultan HB I dan Mangkunegara makin kuat maka Pakubuwana III tidak dapat berbuat apa-apa. Kemudian terjadi pula perselisihan antara Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said yang segera dimanfaatkan oleh Belanda dengan menawarkan perjanjian baru. Kelak perjanjian ini disebut dengan Perjanjian Giyanti (17 Maret 1755)yang isinya adalah pengakuan Belanda kepada Pangeran Mangkubumi sebagai raja atas setengah wilayah dari Surakarta.

Kemudian pada April 1755 Pangeran Mangkubumi berencana membuka hutan Beringan sebagai ibu kota baru Mataram. Sebelumnya di hutan tersebut juga terdapat pesanggrahan yang bernama Ngayogya sebagai tempat peristirahatan saat mengantar jenazah dari Surakarta ke Imogiri. Dari nama pesanggrahan itulah nama Ngayogyakarta Hadiningrat berasal yang kemudian disingkat menjadi Yogyakarta. Daerah ini terletak diantara sungai Winongo dan Sungai Code. Pada tanggal 7 Oktober 1756 istana dan ibukota selesai dibangun dan menjadi tempat tinggal para Sultan Hamengku Buwono secara turun menurun.

Dari sinilah maka sejarah Yogyakarta bergulir dengan tidak melupakan peran dari keraton saudaranya yaitu Keraton Surakarta yang masih berdiri sampai sekarang.
(sumber utama: www.id.wikipedia.org)

0 komentar :