Sabtu, 27 September 2008

JOGJA SEBAGAI KOTA PELAJAR

Wah..wah.. saat saya sedang terinspirasi untuk menulis artikel tentang identitas Kota Jogja sebagai Kota Pelajar, banyak hal yang menarik yang saya dapat saat saya sedang mencari-cari bahan di Internet. Bukan tentang kenapa Kota Jogja/Yogyakarta disebut Kota Pelajar yang saya dapat, melainkan tentang kritik-kritik tentang identitias Jogja sebagai Kota Pelajar itu sendiri. Hal ini menjadi menarik karena sebagian besar situs tersebut menulis hal tersebut dengan harapan Kota Jogja bisa seperti dulu, yaitu menjadi Kota Pelajar yang sejati.

Menurut situs www.harianjoglosemar.com yang saya akses tanggal 26 September 2008 mengatakan alasan Jogja disebut sebagai Kota Pelajar adalah karena mimpi Sultan Hamengku Buwono IX dalam membangun Jogja. Pada tahun 1946 Sultan HB IX membangun sebuah Universitas (Universitas Gadjah Mada) yang nantinya diharapkan Sultan dapat menjadi sarana dalam mendidik tenaga manusia yang terampil dan terlatih di bidang masing-masing. Untuk mendukung mimpinya tersebut Sultan HB IX membuat kebijakan yaitu membuka Yogyakarta seluas-luasnya untuk para pemuda-pemudi dari seluruh Indonesia untuk menuntut ilmu di Yogyakarta, yang waktu itu menjadi ibukota NKRI. Karena kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Sri Sultan HB IXwaktu itu, serta didukung dengan memberikan sebagian tanah Keraton untuk dibangun sarana-sarana pendidikan diatasnyalah mimpi Sri Sultan HB IX terwujud waktu itu.

Maka kurang lebih sebelum tahun 2003 Jogja memiliki wajah yang sangat akrab dengan anak muda. Kos-kosan dengan harga murah banyak ditemui di Jogja. Banyak pula dijumpai warung-warung dan bisnis-bisnis kecil lainnya yang dibangun dan dikelola oleh kaum mahasiswa. Contoh yang masih ada saat ini adalah produksi Kaos Dagadu. Bahkan konon sang pemilik, yang asli mahasiswa UGM ini enggan mendaftar merk Dagadu miliknya ke pihak Pemerintah. Alasan yang ia punya sederhana yaitu agar banyak orang dapat menikmati merk Dagadu-nya dan menjadikan Dagadu sebagai kaos khas Jogja. Selain Dagadu banyak pula kita jumpai warung-warung yang menjual nasi ukuran mini, yang umumnya disebut nasi kucing. Warung yang menjual nasi kucing tersebut disebut oleh penggemarnya “Angkringan”. Memang pada tahun-tahun tersebut kita tidak banyak menjumpai banyak Mall-Mall dan Kafe-Kafe. Kalaupun ada Mall dan Kafe tersebut hanya terdapat di kawasan Malioboro.

Bukti lainnya yang menunjukkan Jogja sebagai kota Pelajar adalah sering diadakannya Pameran Komputer dan Pameran Buku yang harganya kocek mahasiswa banget. Umum diketahui harga-harga baik komputer maupun buku yang dijual lewat pameran memiliki harga yang bersaing karena kita dapat membandingkan harga buku di tiap stand yang ada. Selain itu pula, pameran dapat dijadikan sumber dana bagi salah satu instansi pendidikan dengan menjadi panitia penyelenggara dengan bekerja sama dengan pihak produsen. Bila dibandingkan dengan kota lainnya, pameran buku dan pameran komputer tidak seramai bila pameran tersebut diadakan di Yogyakarta.

Tetapi belakangan ini wajah Jogja sudah berubah. Di Jalan Affandi (yang dulunya disebut Jalan Gejayan) salah satunya, dulu dapat kita nikmati pemandangan Gunung Merapi yang indah dengan bebas. Tetapi sekarang karena jalan Affandi sudah dipenuhi dengan papan iklan, maka pemandangan gunung Merapi hanya dapat dinikmati di titik-titik tertentu saja. Hal lainnya yang juga pernah menjadi kontroversi yaitu keberadaan dua mall besar di Jalan Solo yang notabene masih merupakan tanah Keraton yang dianggap suci oleh orang Jogja. Selain itu, kafe-kafe baru bermunculan dan tumbuh bak jamur di musim hujan... kafe-kafe tersebut juga dilengkapi dengan fasilitas HotSpot, yaitu fasilitas Internet Wireless yang umum diakses dengan menggunakan Notebook.

Banyak tempat-tempat nongkrong yang digunakan oleh orang Jogja terutama oleh para mahasiswa pendatangnya untuk berkumpul dan bertukar pikiran di tempat tersebut. Salah satunya yaitu kompleks warung kopi Joss, kopi yang ditambah dengan arang panas didalamnya yang terletak di sebelah utara Stasiun Tugu Jogja. Kompleks ini dahulunya tidak pernah sepi bila malam tiba. Orang seakan melepas kesulitan di tempat ini. Suasana pun terasa guyub satu sama lain. Tetapi fasilitas HotSpot dan Mall yang ada di Jogja seakan mengikis keguyuban itu. Setiap orang seakan sibuk dengan komputer masing-masing. Tidak peduli lagi dengan suasana sekitar.

Hal ini juga didukung oleh hasil data yang didapat dari KOMPAS-cetak (Senin 20 Agustus 2007) yaitu

“Banyaknya jumlah siswa yang mengulang, tidak lulus ujian nasional, hingga siswa putus sekolah menjadikan Yogyakarta tidak berbeda jauh dengan pusat-pusat pendidikan lainnya di Indonesia. Berdasarkan data Dinas Pendidikan Tahun Ajaran 2006/2007, jumlah siswa SD hingga SMA yang mengulang mencapai 11.318 siswa dan putus sekolah sekitar 4.000 siswa. Sementara siswa SMA/SMK yang tidak lulus ujian nasional sebanyak 3.084 siswa. “


Tetapi seperti salah satu kata orang “semua tak sama”. Artinya masih ada satu-dua orang Jogja yang meraih hasil positif dari Jogja. Lagi... tetapi, sudah menjadi tugas kita bersama yang suka sama Jogja agar Jogja dapat kembali disebut sebagai kota Pelajar dan nyaman untuk ditinggali, bila menurut salah satu sumber. Apakah kamu mau mewujudkannya??? Kalau bisa saya pinjam istilahnya pak SBY: Bersama Kita Bisa!!!

0 komentar :