Sabtu, 22 November 2008

Romo Mangun Untuk Yogyakarta


Nama : Yusuf Blilyarta Mangunwijaya
Lahir : Ambarawa, Jawa Tengah 6 Mei 1929
Wafat : Jakarta, 10 Februari 1999

Saya yakin bahwa banyak diantara kita yang mengenal orang ini dan pasti terasa akrab bagi kita. Apalagi jika orang yang melihat identitas di atas berasal dari golongan arsitek, warga Kali Code Yogyakarta dan para murid di SD Mangunan Yogyakarta. Orang ini yang juga sering dipanggil dengan sebutan Romo Mangun merupakan sosok manusia yang sangat komplit, bahkan mendekati sempurna kalau bisa dibilang di sisi humanisnya. Romo Mangun merupakan contoh manusia yang luar biasa dan langka yang pernah dilahirkan oleh bumi. Selain sebagai rohaniwan, Romo Mangun juga sukses menjalankan perannya sebagai seorang arsitek, penulis, dan budayawan.

Adalah Bapak Yulianus Sumadi dan Ibu Serafin Kamdaniyah yang dengan bangga telah melahirkan Romo Mangun ke dunia ini. Walaupun Romo Mangun lahir di Ambarawa Jawa Tengah, tetapi banyak karya dan jejak yang telah ditinggalkan oleh Romo di bumi Sri Sultan Hamengku Buwono Yogyakarta. Salah satunya yang paling mendapat sorotan adalah perkampungan Kali Code yang berhasil dirubah menjadi lebih baik oleh Romo Mangun. Selain itu Romo Mangun juga pernah mengabdi secara langsung kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam bertugas menjadi supir pendamping Panglima Perang Sri Sultan Hamengkubuwono IX memeriksa pasukan.

Keberhasilan Romo Mangun sebagai seorang arsitek tak usah diragukan lagi. Banyak penghargaan yang telah diberikan kepada Romo, baik yang berasal dari organisasi dalam negeri maupun dari organisasi luar negeri. Diantara banyak penghargaan itu datang akibat perannya dalam membantu rakyat Kali Code Yogyakarta. Penghargaan tersebut diantaranya “The Aga Khan Award for Architecture” pada tahun 1992 dan tiga tahun kemudian dilanjutkan dengan penghargaan “The Ruth and Ralph Erskine Fellowship Award” yang datang dari Stockholm, Swedia untuk kategori arsitektur demi rakyat yang tak diperhatikan. Pendidikan arsitek Romo Mangun dimulai ketika Romo masuk ke Institut Teknik Bandung jurusan Teknik Arsitek pada tahun 1959 setelah pada tahun yang sama Romo menerima pentahbisannya sebagai seorang Imam SJ dari Uskup Agung pribumi pertama di Indonesia, Uskup Soegijapranata SJ. Pendidikan Arsitek ITB yang diambil oleh Romo dilanjutkannya ke universitas yang sama dengan mantan Presiden RI ke-III BJ Habibie, Rheinisch Westfaelische Technische Hochschule, Aachen, Jerman pada tahun 1960.

Sebagai seorang penulis Romo Mangun banyak menghasilkan karya yang lagi-lagi diantaranya berhasil menyabet penghargaan. Salah satu penghargaan yang bergengsi yang berhasil diperoleh Romo adalah penghargaan penghargaan dari Ratu Thailand Sirikit lewat ajang The South East Asia Write Award 1983 atas novelnya yang berjudul “Burung-Burung Manyar” (1981). Selain menghasilkan karya dalam bentuk novel, Romo Mangun pun sering mengirim artikel-artikel yang berisi sindiran dan seringkali membela nasib orang kecil yang sering tertindas di Indonesia. Akibat dari perbuatan Romo ini menuai pro dan kontra. Golongan pro datang dari rakyat kecil yang dibela oleh Romo dan yang kontra datang dari golongan pejabat negeri ini (Indonesia). Saking seringnya Romo mengkritik sampai Soeharto yang saat itu masih menjabat Presiden RI menuding Romo Mangun sebagai seorang komunis yang mengaku sebagai rohaniwan.

Kepekaan Romo Mangun terhadap sosial sangat tinggi. Warga Kedung Ombo yang akan digusur oleh pihak pemerintah dengan tidak adil didampingi oleh Romo Mangun. Bahkan dengan kegigihan Romo, akhirnya permasalahan warga Kedung Ombo dengan pihak pemerintah dapat berkahir dengan baik sekali, bahkan pihak pemerintah bersedia untuk membayar ganti rugi melebihi dari yang dituntut oleh warga Kedung Ombo. Selain itu Romo Mangun juga menerapkan sistem yang telah disusun oleh Romo sendiri, yang disebut dengan sistem Dinamika Edukasi Dasar (DED) di SD Mangunan, Sleman, DI Yogyakarta. Nama Mangunan merupakan sebuah kebetulan antara nama Romo Mangun sendiri dengan nama desa Mangunan tempat SD tersebut berada. Hal ini dilakukan Romo karena Romo Mangun melihat bahwa sistem pendidikan di Indonesia tidak baik dan juga kecintaan Romo pada anak-anak Indonesia yang menurutnya sangat tersiksa dengan sistem pendidikan saat itu.

Pada tanggal 10 Februari 1999, sepak terjang Romo terhenti untuk selamanya. Penyakit jantung yang diidap oleh Romo Mangun telah menghentikannya untuk berkarya demi kemuliaan T u h a n yang disembahnya. Romo Mangun berpulang saat Romo menjadi pembicara di seminar “Meningkatkan Buku Dalam Upaya Membentuk Masyarakat Baru Indonesia", yang diselenggarakan Yayasan Obor Indonesia, di Hotel Le Meridien, Jakarta. Kepergian Romo ini banyak mengundang haru bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Kepergian Romo ini juga sangat menyedihkan bagi teman-teman dekat Romo yang sedang menyiapkan pesta ulang tahun Romo yang ke-70. Walaupun sepak terjang Romo terhenti tetapi kenangan dan karya yang telah ditinggal tidak akan hilang.

Tulisan ini dirangkum dari berbagai sumber. Salah satu sumber yang cukup sistematis membahas Romo Mangun adalah Wikipedia.

© Jape Methe Blog

Read More......