Senin, 29 September 2008

tess

Ni cuman tess bisa ga smiley masuk blogger... eh ternyata bisa coy!!!
Masukin ni Smiley lewat Yahoo.
Kirimin Postingan lewat yahoo ke alamat email Blogger Kamu..
jadi deh..

Read More......

Sabtu, 27 September 2008

JOGJA SEBAGAI KOTA PELAJAR

Wah..wah.. saat saya sedang terinspirasi untuk menulis artikel tentang identitas Kota Jogja sebagai Kota Pelajar, banyak hal yang menarik yang saya dapat saat saya sedang mencari-cari bahan di Internet. Bukan tentang kenapa Kota Jogja/Yogyakarta disebut Kota Pelajar yang saya dapat, melainkan tentang kritik-kritik tentang identitias Jogja sebagai Kota Pelajar itu sendiri. Hal ini menjadi menarik karena sebagian besar situs tersebut menulis hal tersebut dengan harapan Kota Jogja bisa seperti dulu, yaitu menjadi Kota Pelajar yang sejati.

Menurut situs www.harianjoglosemar.com yang saya akses tanggal 26 September 2008 mengatakan alasan Jogja disebut sebagai Kota Pelajar adalah karena mimpi Sultan Hamengku Buwono IX dalam membangun Jogja. Pada tahun 1946 Sultan HB IX membangun sebuah Universitas (Universitas Gadjah Mada) yang nantinya diharapkan Sultan dapat menjadi sarana dalam mendidik tenaga manusia yang terampil dan terlatih di bidang masing-masing. Untuk mendukung mimpinya tersebut Sultan HB IX membuat kebijakan yaitu membuka Yogyakarta seluas-luasnya untuk para pemuda-pemudi dari seluruh Indonesia untuk menuntut ilmu di Yogyakarta, yang waktu itu menjadi ibukota NKRI. Karena kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Sri Sultan HB IXwaktu itu, serta didukung dengan memberikan sebagian tanah Keraton untuk dibangun sarana-sarana pendidikan diatasnyalah mimpi Sri Sultan HB IX terwujud waktu itu.

Maka kurang lebih sebelum tahun 2003 Jogja memiliki wajah yang sangat akrab dengan anak muda. Kos-kosan dengan harga murah banyak ditemui di Jogja. Banyak pula dijumpai warung-warung dan bisnis-bisnis kecil lainnya yang dibangun dan dikelola oleh kaum mahasiswa. Contoh yang masih ada saat ini adalah produksi Kaos Dagadu. Bahkan konon sang pemilik, yang asli mahasiswa UGM ini enggan mendaftar merk Dagadu miliknya ke pihak Pemerintah. Alasan yang ia punya sederhana yaitu agar banyak orang dapat menikmati merk Dagadu-nya dan menjadikan Dagadu sebagai kaos khas Jogja. Selain Dagadu banyak pula kita jumpai warung-warung yang menjual nasi ukuran mini, yang umumnya disebut nasi kucing. Warung yang menjual nasi kucing tersebut disebut oleh penggemarnya “Angkringan”. Memang pada tahun-tahun tersebut kita tidak banyak menjumpai banyak Mall-Mall dan Kafe-Kafe. Kalaupun ada Mall dan Kafe tersebut hanya terdapat di kawasan Malioboro.

Bukti lainnya yang menunjukkan Jogja sebagai kota Pelajar adalah sering diadakannya Pameran Komputer dan Pameran Buku yang harganya kocek mahasiswa banget. Umum diketahui harga-harga baik komputer maupun buku yang dijual lewat pameran memiliki harga yang bersaing karena kita dapat membandingkan harga buku di tiap stand yang ada. Selain itu pula, pameran dapat dijadikan sumber dana bagi salah satu instansi pendidikan dengan menjadi panitia penyelenggara dengan bekerja sama dengan pihak produsen. Bila dibandingkan dengan kota lainnya, pameran buku dan pameran komputer tidak seramai bila pameran tersebut diadakan di Yogyakarta.

Tetapi belakangan ini wajah Jogja sudah berubah. Di Jalan Affandi (yang dulunya disebut Jalan Gejayan) salah satunya, dulu dapat kita nikmati pemandangan Gunung Merapi yang indah dengan bebas. Tetapi sekarang karena jalan Affandi sudah dipenuhi dengan papan iklan, maka pemandangan gunung Merapi hanya dapat dinikmati di titik-titik tertentu saja. Hal lainnya yang juga pernah menjadi kontroversi yaitu keberadaan dua mall besar di Jalan Solo yang notabene masih merupakan tanah Keraton yang dianggap suci oleh orang Jogja. Selain itu, kafe-kafe baru bermunculan dan tumbuh bak jamur di musim hujan... kafe-kafe tersebut juga dilengkapi dengan fasilitas HotSpot, yaitu fasilitas Internet Wireless yang umum diakses dengan menggunakan Notebook.

Banyak tempat-tempat nongkrong yang digunakan oleh orang Jogja terutama oleh para mahasiswa pendatangnya untuk berkumpul dan bertukar pikiran di tempat tersebut. Salah satunya yaitu kompleks warung kopi Joss, kopi yang ditambah dengan arang panas didalamnya yang terletak di sebelah utara Stasiun Tugu Jogja. Kompleks ini dahulunya tidak pernah sepi bila malam tiba. Orang seakan melepas kesulitan di tempat ini. Suasana pun terasa guyub satu sama lain. Tetapi fasilitas HotSpot dan Mall yang ada di Jogja seakan mengikis keguyuban itu. Setiap orang seakan sibuk dengan komputer masing-masing. Tidak peduli lagi dengan suasana sekitar.

Hal ini juga didukung oleh hasil data yang didapat dari KOMPAS-cetak (Senin 20 Agustus 2007) yaitu

“Banyaknya jumlah siswa yang mengulang, tidak lulus ujian nasional, hingga siswa putus sekolah menjadikan Yogyakarta tidak berbeda jauh dengan pusat-pusat pendidikan lainnya di Indonesia. Berdasarkan data Dinas Pendidikan Tahun Ajaran 2006/2007, jumlah siswa SD hingga SMA yang mengulang mencapai 11.318 siswa dan putus sekolah sekitar 4.000 siswa. Sementara siswa SMA/SMK yang tidak lulus ujian nasional sebanyak 3.084 siswa. “


Tetapi seperti salah satu kata orang “semua tak sama”. Artinya masih ada satu-dua orang Jogja yang meraih hasil positif dari Jogja. Lagi... tetapi, sudah menjadi tugas kita bersama yang suka sama Jogja agar Jogja dapat kembali disebut sebagai kota Pelajar dan nyaman untuk ditinggali, bila menurut salah satu sumber. Apakah kamu mau mewujudkannya??? Kalau bisa saya pinjam istilahnya pak SBY: Bersama Kita Bisa!!!

Read More......

Rabu, 24 September 2008

Amangkurat IV Leluhur Raja Jawa

Ngerti Gak kalo Amangkurat IV merupakan leluhur dari Raja Jawa Modern???
Dari Sunan Amangkurat IV inilah dilahirkan Sunan Paku Buwana II dan Sultan Hamengku Buwono I serta Arya Mangkunegara. Ayah dari Raden Mas Said (Mangkunegara I). Sunan Amangkurat IV juga merupakan Raja terakhir dari Keraton Kartasura sebelum dipindahkan ke Surakarta oleh anaknya Sunan Pakubuwana II.
(sumber: www.id.wikipedia.org)

Read More......

Selasa, 23 September 2008

Save Jogja!!!

Jogja Banjir

Tau gak sih, ini foto diambil dimana?

Jakarta?? salah besar! Aku kasih tau ya, ini foto kuambil di jalan Solo, lebih tepatnya di Janti…JOGJA. What?!??


Padahal semboyan kota Jogja kan, Yogyakarta berhati Nyaman. Wah jadi gak nyaman lagi nih kalo kena banjir di tengah jalan. Gak nyangka khan kalo Jogja sekarang jadi ikut-ikutan kayak Jakarta. Kena Banjir!! Tragis banget kan. Gak mau kan kalo harus dorong motor ato mobil hujan2 gara2 kena banjir. Makanya nih jangan lagi-lagi dech buang sampah sembarangan! Sorong x Tapi banjir di Janti ini sebab utamanya sih bukan karena sampah, menurut isu yang berkembang ni banjir gara2 drainase yang buruk akibat pengembangan dan pembangunan Ambarukmo Plaza. What a shame!

Kontras banget ya, orang-orang suka banget belanja-belanja ato sekedar cuci mata di Mall terbesar di Jogja ini.
Justru Mall ini bikin Jogja gak nyaman lagi gara2 banjir.
Makanya nih kita semua harus jaga nih kota Jogja tercinta kita biar gak ikutan musim banjir kayak Jakarta. Rajin2 buang sampah pada tempatnya, contohlah mas Agung Soronk ini. Buanglah Sampah Pada Tempatnya! (D)

Read More......

SEJARAH Yogyakarta

Bila kita berbicara tentang Kraton Yogyakarta, maka kita tak bisa jauh-jauh dari Kraton Surakarta (Solo), atau lebih jauh lagi, dari Kerajaan Mataram yang sempat menguasai Jawa sekitar tahun 1613 dibawah pimpinan Sultan Agung (Raden Mas Rangsang). Pada saat ini Kraton Yogyakarta dan Kraton Surakarta dianggap sebagai ahli waris dari Kerajaan Mataram. Bahkan di saat Kerajaan-Kerajaan lainnya di Indonesia sudah tidak memerintah lagi wilayah yang dulu menjadi teritorial kerajaannya, Kerajaan Yogyakarta masih memiliki kendali (meskipun bertanggung jawab kepada Presiden RI) atas teritorialnya. Hal ini dapat dilihat dari Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta yang saat ini dipegang oleh Sultan Hamengku Buwono (HB) X dan Pangeran Paku Alam (PA) IX. Tidak hanya itu, rakyat Yogyakarta pun dengan tegas menolak pemilihan Kepala Daerah dan mendukung penetapan Sultan HB X dan Pangeran PA IX menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta.


Seperti yang telah diketahui, Perjanjian Giyanti (17 Maret 1755) merupakan awal dari sejarah Yogyakarta. Perjanjian ini diadakan di desa Giyanti, tenggara kota Karanganyar, Jawa Tengah. Perjanjian ini merupakan kesepakatan antara VOC, pihak Mataram, dan pihak Pangeran Mangkubumi (pemberontak, yang kelak menjadi Sultan Hamengku Buwono I) yang isinya membagi dua kerajaan Mataram menjadi milik Kerajaan Surakarta dan milik Pangeran Mangkubumi (bernama asli Raden Mas Sujana anak dari Amangkurat IV raja dari Kasunanan Kartasura) yang nantinya menjadi Yogyakarta. Perjanjian Giyanti tersebut juga memberi gelar “Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah” ke Pangeran Mangkubumi.

Kerajaan Mataram merupakan Kerajaan Islam yang dibangun oleh Sutawijaya yang kemudian bergelar “Panembahan Senopati” atas daerah yang telah diberikan oleh Jaka Tingkir alias Sultan Hadiwijaya (Raja Kerajaan Pajang) kepadanya. Kemudian Kerajaan Mataram menjadi besar di bawah pimpinan Sultan Agung, putra dari Prabu Hanyokrowati (Raja Kedua Mataram). Semasa pemerintahan Sultan Agung, Kerajaan Mataram berhasil menyatukan Pulau Jawa, bahkan sampai Pulau Madura.

Sepeninggal Sultan Agung (Raden Mas Rangsang), Kerajaan Mataram mengalami kemunduran. Salah satunya adalah saat Kerajaan Mataram masa Amangkurat I diserang oleh Trunojoyo, salah satu bangsawan Madura dengan bantuan kelompok dari Makassar yang tidak puas dengan VOC. Selain itu, gelar Kesultanan berubah menjadi “Sri Sunan” (berasal dari kata “Susuhunan” atau “Yang Dipertuan”) mulai Amangkurat I (Raden Mas Sayidin). Amangkurat dalam bahasa Jawa juga bisa berarti Amangku “memangku” rat “bumi”.

Pemberontakan Trunojoyo berhasil dipadamkan oleh Sri Susuhunan Amangkurat II (Raden Mas Rahmat). Setelah pemberontakan Trunojoyo, Amangkurat II memindahkan Kerajaan Mataram dari Plered ke Kartasura, yang kelak menjadi Kasunanan Kartasura. Kemudian Amangkurat II wafat dan digantikan posisinya oleh Amangkurat III. Tetapi menurut Babad Tanah Jawi, Wahyu Keprabon sebenarnya jatuh ke Pangeran Puger (Pakubuwono I). Dukungan mulai datang kepada Pangeran Puger. Hal ini membuat persaingan di antara keduanya memanas dan akhirnya menjadi peperangan di antara keduanya. Perang Saudara ini disebut juga Perang Suksesi I yang dimenangkan oleh Pangeran Puger. Kemudian Pangeran Puger yang bergelar "Susuhunan Paku Buwana Senapati Ingalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatulah Tanah Jawa" ini menduduki Keraton Kartasura yang digantikan oleh putranya Amangkurat IV(Raden Mas Suryaputra).

Semasa pemerintahan Amangkurat IV, terjadi perang saudara lagi, yang disebut Perang Suksesi II. Perang ini terjadi antara Amangkurat IV dengan saudara-saudaranya, Pangeran Arya Dipanegara pamannya, Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya adik-adiknya, dan Pangeran Arya Mataram pamannya. Perang ini akhirnya dapat dimenangkan oleh Amangkurat IV dengan bantuan VOC. Amangkurat IV merupakan leluhur orang-orang yang berpengaruh besar di Jawa di kemudian hari karena Amangkurat IV melahirkan Pakubuwana II pendiri Keraton Surakarta, Hamengku Buwono I raja pertama Yogyakarta, dan Arya Mangkunegara ayah dari Mangkunegara I.

Pengganti Amangkurat IV adalah putranya yaitu Raden Mas Prabusuyasa (Pakubuwana II). Karena kalah dari Cakraningrat IV (ipar Pakubuwana II) dan Istana Kartasura hancur maka Pakubuwana II kembali membangun Istana baru di desa Sala yang bernama Surakarta.

Setelah Pakubuwana II wafat maka ia digantikan oleh Pakubuwana III yang merupakan raja mataram pertama yang dilantik oleh Belanda (VOC). Semasa pemerintahan Pakubuwana III ini terjadi perang saudara yang sudah dimulai sejak jaman pemerintahan Pakubuwana II antara Raden Mas Said (Mangkunegara I) putra dari Arya Mangkunegara dan Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwana I) dengan Pakubuwana II.

Karena pihak Sultan HB I dan Mangkunegara makin kuat maka Pakubuwana III tidak dapat berbuat apa-apa. Kemudian terjadi pula perselisihan antara Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said yang segera dimanfaatkan oleh Belanda dengan menawarkan perjanjian baru. Kelak perjanjian ini disebut dengan Perjanjian Giyanti (17 Maret 1755)yang isinya adalah pengakuan Belanda kepada Pangeran Mangkubumi sebagai raja atas setengah wilayah dari Surakarta.

Kemudian pada April 1755 Pangeran Mangkubumi berencana membuka hutan Beringan sebagai ibu kota baru Mataram. Sebelumnya di hutan tersebut juga terdapat pesanggrahan yang bernama Ngayogya sebagai tempat peristirahatan saat mengantar jenazah dari Surakarta ke Imogiri. Dari nama pesanggrahan itulah nama Ngayogyakarta Hadiningrat berasal yang kemudian disingkat menjadi Yogyakarta. Daerah ini terletak diantara sungai Winongo dan Sungai Code. Pada tanggal 7 Oktober 1756 istana dan ibukota selesai dibangun dan menjadi tempat tinggal para Sultan Hamengku Buwono secara turun menurun.

Dari sinilah maka sejarah Yogyakarta bergulir dengan tidak melupakan peran dari keraton saudaranya yaitu Keraton Surakarta yang masih berdiri sampai sekarang.
(sumber utama: www.id.wikipedia.org)

Read More......

Selasa, 09 September 2008

BAHASA JAWANYA ORANG JOGJA

Orang Jogja memakai dialek Jogja yang berbeda dengan Bahasa Jawa dari daerah-daerah lain. Soalnya orang Jogja suka menyingkat kata, menambahkan kalimat ataupun menambah huruf ‘m’ pada kata atau nama kota yang biasanya berawalan huruf ‘b’ (biar mantap!!).

Misalnya nih.. :
‘Bandung’ dibaca ‘Mbandung’
‘Bali’ dibaca ‘Mbali’
‘Bantul’ dibaca ‘Mbantul’
‘Blitar’ dibaca ‘Mblitar’

Ck..ck...Ada…ada…aja…ya...

Nah, kalo bahasa jawa sendiri,dalam penggunaanya dibagi menjadi tiga tingkatan :
1. Krama Inggil : Bahasa ini dipake kalo kita bicara dengan orang yang lebih tua, ato dihormati

misalnya kakek,nenek,orang tua,guru.
2. Ngoko Alus ato Krama Lugu : Bahasa ini dipake kalo kita ngomong sama orang yang lebih
tua dari kita,misanya kakak,om,tante.
3. Ngoko, bahasa ini dipake kalo kita ngomong dengan teman sebaya kita.

Bahasa Gaul Jogja
Bahasa ini dulu popular waktu jaman Bapakku masi muda kayak kita-kita gitu, kira-kira taon 1980. Bahasanya gak ribet kalo belum tau, soalnya huruf-huruf yang dipake merupakan kebalikan dari huruf huruf yang berlawanan. Mumet kalo orang gak tau nih!!
Tapi penggantian huruf ini didasarkan dari aksara jawa, jadi yang udah hapal n’ ngerti aksara jawa gampang hapalinnya:

Nih huruf-hurufnya:

Tulisan Jawa
Ha = pa
Na = dha
Ca = ja
Ra = ya
Ka = nya
Da = ma
Ta = ga
Sa = ba
Wa = tha
La = nga

Aturannya cukup dengan mengganti huruf dari huruf seberangnya
Misal :
Matamu = dagadu(Merek kaos yang terkenal dari Jogja)
Mas = dab
Ibu = pisu
Bojo = soco
Jape mete = cae dewe
Apek = pahen

Ada satu lagi bahasa gaul….dan lagi-lagi sama anehnya;
Yaitu menambah satu suku kata yaitu da,di,du,de maupun do
Misalnya,
piye kabare mas?
Pidiyede kadabadarede madas?
Kowe arep lungo?
Kodowede adaredep ludungodo?

Read More......