Selasa, 23 September 2008

Save Jogja!!!

Jogja Banjir

Tau gak sih, ini foto diambil dimana?

Jakarta?? salah besar! Aku kasih tau ya, ini foto kuambil di jalan Solo, lebih tepatnya di Janti…JOGJA. What?!??


Padahal semboyan kota Jogja kan, Yogyakarta berhati Nyaman. Wah jadi gak nyaman lagi nih kalo kena banjir di tengah jalan. Gak nyangka khan kalo Jogja sekarang jadi ikut-ikutan kayak Jakarta. Kena Banjir!! Tragis banget kan. Gak mau kan kalo harus dorong motor ato mobil hujan2 gara2 kena banjir. Makanya nih jangan lagi-lagi dech buang sampah sembarangan! Sorong x Tapi banjir di Janti ini sebab utamanya sih bukan karena sampah, menurut isu yang berkembang ni banjir gara2 drainase yang buruk akibat pengembangan dan pembangunan Ambarukmo Plaza. What a shame!

Kontras banget ya, orang-orang suka banget belanja-belanja ato sekedar cuci mata di Mall terbesar di Jogja ini.
Justru Mall ini bikin Jogja gak nyaman lagi gara2 banjir.
Makanya nih kita semua harus jaga nih kota Jogja tercinta kita biar gak ikutan musim banjir kayak Jakarta. Rajin2 buang sampah pada tempatnya, contohlah mas Agung Soronk ini. Buanglah Sampah Pada Tempatnya! (D)

Read More......

SEJARAH Yogyakarta

Bila kita berbicara tentang Kraton Yogyakarta, maka kita tak bisa jauh-jauh dari Kraton Surakarta (Solo), atau lebih jauh lagi, dari Kerajaan Mataram yang sempat menguasai Jawa sekitar tahun 1613 dibawah pimpinan Sultan Agung (Raden Mas Rangsang). Pada saat ini Kraton Yogyakarta dan Kraton Surakarta dianggap sebagai ahli waris dari Kerajaan Mataram. Bahkan di saat Kerajaan-Kerajaan lainnya di Indonesia sudah tidak memerintah lagi wilayah yang dulu menjadi teritorial kerajaannya, Kerajaan Yogyakarta masih memiliki kendali (meskipun bertanggung jawab kepada Presiden RI) atas teritorialnya. Hal ini dapat dilihat dari Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta yang saat ini dipegang oleh Sultan Hamengku Buwono (HB) X dan Pangeran Paku Alam (PA) IX. Tidak hanya itu, rakyat Yogyakarta pun dengan tegas menolak pemilihan Kepala Daerah dan mendukung penetapan Sultan HB X dan Pangeran PA IX menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta.


Seperti yang telah diketahui, Perjanjian Giyanti (17 Maret 1755) merupakan awal dari sejarah Yogyakarta. Perjanjian ini diadakan di desa Giyanti, tenggara kota Karanganyar, Jawa Tengah. Perjanjian ini merupakan kesepakatan antara VOC, pihak Mataram, dan pihak Pangeran Mangkubumi (pemberontak, yang kelak menjadi Sultan Hamengku Buwono I) yang isinya membagi dua kerajaan Mataram menjadi milik Kerajaan Surakarta dan milik Pangeran Mangkubumi (bernama asli Raden Mas Sujana anak dari Amangkurat IV raja dari Kasunanan Kartasura) yang nantinya menjadi Yogyakarta. Perjanjian Giyanti tersebut juga memberi gelar “Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah” ke Pangeran Mangkubumi.

Kerajaan Mataram merupakan Kerajaan Islam yang dibangun oleh Sutawijaya yang kemudian bergelar “Panembahan Senopati” atas daerah yang telah diberikan oleh Jaka Tingkir alias Sultan Hadiwijaya (Raja Kerajaan Pajang) kepadanya. Kemudian Kerajaan Mataram menjadi besar di bawah pimpinan Sultan Agung, putra dari Prabu Hanyokrowati (Raja Kedua Mataram). Semasa pemerintahan Sultan Agung, Kerajaan Mataram berhasil menyatukan Pulau Jawa, bahkan sampai Pulau Madura.

Sepeninggal Sultan Agung (Raden Mas Rangsang), Kerajaan Mataram mengalami kemunduran. Salah satunya adalah saat Kerajaan Mataram masa Amangkurat I diserang oleh Trunojoyo, salah satu bangsawan Madura dengan bantuan kelompok dari Makassar yang tidak puas dengan VOC. Selain itu, gelar Kesultanan berubah menjadi “Sri Sunan” (berasal dari kata “Susuhunan” atau “Yang Dipertuan”) mulai Amangkurat I (Raden Mas Sayidin). Amangkurat dalam bahasa Jawa juga bisa berarti Amangku “memangku” rat “bumi”.

Pemberontakan Trunojoyo berhasil dipadamkan oleh Sri Susuhunan Amangkurat II (Raden Mas Rahmat). Setelah pemberontakan Trunojoyo, Amangkurat II memindahkan Kerajaan Mataram dari Plered ke Kartasura, yang kelak menjadi Kasunanan Kartasura. Kemudian Amangkurat II wafat dan digantikan posisinya oleh Amangkurat III. Tetapi menurut Babad Tanah Jawi, Wahyu Keprabon sebenarnya jatuh ke Pangeran Puger (Pakubuwono I). Dukungan mulai datang kepada Pangeran Puger. Hal ini membuat persaingan di antara keduanya memanas dan akhirnya menjadi peperangan di antara keduanya. Perang Saudara ini disebut juga Perang Suksesi I yang dimenangkan oleh Pangeran Puger. Kemudian Pangeran Puger yang bergelar "Susuhunan Paku Buwana Senapati Ingalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatulah Tanah Jawa" ini menduduki Keraton Kartasura yang digantikan oleh putranya Amangkurat IV(Raden Mas Suryaputra).

Semasa pemerintahan Amangkurat IV, terjadi perang saudara lagi, yang disebut Perang Suksesi II. Perang ini terjadi antara Amangkurat IV dengan saudara-saudaranya, Pangeran Arya Dipanegara pamannya, Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya adik-adiknya, dan Pangeran Arya Mataram pamannya. Perang ini akhirnya dapat dimenangkan oleh Amangkurat IV dengan bantuan VOC. Amangkurat IV merupakan leluhur orang-orang yang berpengaruh besar di Jawa di kemudian hari karena Amangkurat IV melahirkan Pakubuwana II pendiri Keraton Surakarta, Hamengku Buwono I raja pertama Yogyakarta, dan Arya Mangkunegara ayah dari Mangkunegara I.

Pengganti Amangkurat IV adalah putranya yaitu Raden Mas Prabusuyasa (Pakubuwana II). Karena kalah dari Cakraningrat IV (ipar Pakubuwana II) dan Istana Kartasura hancur maka Pakubuwana II kembali membangun Istana baru di desa Sala yang bernama Surakarta.

Setelah Pakubuwana II wafat maka ia digantikan oleh Pakubuwana III yang merupakan raja mataram pertama yang dilantik oleh Belanda (VOC). Semasa pemerintahan Pakubuwana III ini terjadi perang saudara yang sudah dimulai sejak jaman pemerintahan Pakubuwana II antara Raden Mas Said (Mangkunegara I) putra dari Arya Mangkunegara dan Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwana I) dengan Pakubuwana II.

Karena pihak Sultan HB I dan Mangkunegara makin kuat maka Pakubuwana III tidak dapat berbuat apa-apa. Kemudian terjadi pula perselisihan antara Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said yang segera dimanfaatkan oleh Belanda dengan menawarkan perjanjian baru. Kelak perjanjian ini disebut dengan Perjanjian Giyanti (17 Maret 1755)yang isinya adalah pengakuan Belanda kepada Pangeran Mangkubumi sebagai raja atas setengah wilayah dari Surakarta.

Kemudian pada April 1755 Pangeran Mangkubumi berencana membuka hutan Beringan sebagai ibu kota baru Mataram. Sebelumnya di hutan tersebut juga terdapat pesanggrahan yang bernama Ngayogya sebagai tempat peristirahatan saat mengantar jenazah dari Surakarta ke Imogiri. Dari nama pesanggrahan itulah nama Ngayogyakarta Hadiningrat berasal yang kemudian disingkat menjadi Yogyakarta. Daerah ini terletak diantara sungai Winongo dan Sungai Code. Pada tanggal 7 Oktober 1756 istana dan ibukota selesai dibangun dan menjadi tempat tinggal para Sultan Hamengku Buwono secara turun menurun.

Dari sinilah maka sejarah Yogyakarta bergulir dengan tidak melupakan peran dari keraton saudaranya yaitu Keraton Surakarta yang masih berdiri sampai sekarang.
(sumber utama: www.id.wikipedia.org)

Read More......

Selasa, 09 September 2008

BAHASA JAWANYA ORANG JOGJA

Orang Jogja memakai dialek Jogja yang berbeda dengan Bahasa Jawa dari daerah-daerah lain. Soalnya orang Jogja suka menyingkat kata, menambahkan kalimat ataupun menambah huruf ‘m’ pada kata atau nama kota yang biasanya berawalan huruf ‘b’ (biar mantap!!).

Misalnya nih.. :
‘Bandung’ dibaca ‘Mbandung’
‘Bali’ dibaca ‘Mbali’
‘Bantul’ dibaca ‘Mbantul’
‘Blitar’ dibaca ‘Mblitar’

Ck..ck...Ada…ada…aja…ya...

Nah, kalo bahasa jawa sendiri,dalam penggunaanya dibagi menjadi tiga tingkatan :
1. Krama Inggil : Bahasa ini dipake kalo kita bicara dengan orang yang lebih tua, ato dihormati

misalnya kakek,nenek,orang tua,guru.
2. Ngoko Alus ato Krama Lugu : Bahasa ini dipake kalo kita ngomong sama orang yang lebih
tua dari kita,misanya kakak,om,tante.
3. Ngoko, bahasa ini dipake kalo kita ngomong dengan teman sebaya kita.

Bahasa Gaul Jogja
Bahasa ini dulu popular waktu jaman Bapakku masi muda kayak kita-kita gitu, kira-kira taon 1980. Bahasanya gak ribet kalo belum tau, soalnya huruf-huruf yang dipake merupakan kebalikan dari huruf huruf yang berlawanan. Mumet kalo orang gak tau nih!!
Tapi penggantian huruf ini didasarkan dari aksara jawa, jadi yang udah hapal n’ ngerti aksara jawa gampang hapalinnya:

Nih huruf-hurufnya:

Tulisan Jawa
Ha = pa
Na = dha
Ca = ja
Ra = ya
Ka = nya
Da = ma
Ta = ga
Sa = ba
Wa = tha
La = nga

Aturannya cukup dengan mengganti huruf dari huruf seberangnya
Misal :
Matamu = dagadu(Merek kaos yang terkenal dari Jogja)
Mas = dab
Ibu = pisu
Bojo = soco
Jape mete = cae dewe
Apek = pahen

Ada satu lagi bahasa gaul….dan lagi-lagi sama anehnya;
Yaitu menambah satu suku kata yaitu da,di,du,de maupun do
Misalnya,
piye kabare mas?
Pidiyede kadabadarede madas?
Kowe arep lungo?
Kodowede adaredep ludungodo?

Read More......

Minggu, 17 Agustus 2008

Various Name of Yogyakarta...

We usually heard people naming Yogyakarta with various name. Someone named it Ngayogyakarta, others named it Jogja, Djokdja, Yogjo or Yojo. Maybe this is not a big problem for a group of people. But I believe this could be confusing for someone out there especially for those who comes from foreign country. But actually, those names pointed to one area that is Yogyakarta.

How could this be happened??

The truth is the official name used by the Yogyakarta Government itself is Yogyakarta. This could be proved by the statement from Sultan Hamengku Buwono IX when Yogyakarta declared to unite with Indonesia in 1945. The Ngayogyakarta name itself comes from Keraton where Sultan Hamengku Buwono lived in and it’s called Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Yogyakarta itself is an open city for people and because of that there are various human races with various culture too who,lived in Yogyakarta. Maybe because of that, the name of Yogyakarta has various called too among those people.

This thing is become interesting because people have knowing each other when they asked about those names of Yogyakarta. For business purposes the name Jogja has become famous because the “Jogja Never Ending Asia” slogan. This slogan used to campaign Yogyakarta as tourism place which have so much pleasure spot like Parangtritis Beach, Malioboro Street, Sultan Palace, etc.
Now you’ve know already about one of many unique sides of Yogyakarta. For formal business, government usually uses the Yogyakarta name. But for tourism, Jogja name more recognized than other to point Yogyakarta. I believe that if you visiting Yogyakarta you’ll find that there’s a lot more fun and unique sides of Yogyakarta.

Interesting isn’t it??

Read More......

Rabu, 06 Agustus 2008

Sedikit Tentang Kami...


Akhirnya....


Dengan rasa Syoekoer kepada Tuhan Yang Maha Esa... (kayak nyusun skripsi aja)
terbentuklah Blog yang diharapkan dapat membantu para pembaca sekalian yang ingin tewe tentang Jogja and So on...


Besar harapan kami (sambil mengatupkan tangan...berdoa) agar para pembaca sekalian maoe memberikan tanggapan dan apapun yang dapat menghidupkan Blog ini.
Yah akhir kata.... tapi bukan akhir dari segalanya... semoga blog ini berguna di masa lalu (kalo bisa), masa sekarang, dan masa akan datang....
Sekian....

Read More......